WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
SEJAK dinihari gumpalan awan hitam menggantung di udara. Paginya walaupun sang surya telah menampakkan diri namun karena masih adanya awan hitam itu, suasana kelihatan mendung sekali.Kokok ayam dan kicau burung tidak seriuh seperti biasanya, seolah-olah binatang-binatang itu tidak gembira menyambut kedatangan pagi yang tiada bercahaya itu. Di lereng timur Gunung Slamet, seorang laki-laki tua yang mengenakan kain selempang putih berdiri di depan teratak kediamannya. Janggutnya yang putih panjang menjela dada melambai-lambai ditiup angin pagi. Orang tua ini menengadah memandang kelangit.
"Mendung sekali pagi ini..." katanya dalam hati. Untuk beberapa lamanya dia masih berdiri di depan teratak itu. Kemudian terdengarlah suaranya berseru memanggil seseorang.
"Untung! Kau kemarilah . . . "
Meski umurnya hampir mencapai delapan puluh, namun suara yang keluar dari mulut orang tua itu keras lantang dan berwibawa. Sesaat kemudian seorang pemuda sembilanbelas tahun muncul dari dalam teratak. Parasnya tampan. Dia mengenakan sehelai celana pendek sedang dadanya yang tidak tertutup kelihatan bidang tegap penuh otot-otot.
"Empu memanggil aku . . .?" pemuda itu bertanya.
Si orang tua yang bernama Empu Bharata, menganggukkan kepalanya. "Keris Mustiko Jagat yang kubikin sudah hampir si
... baca selengkapnya di Wiro Sableng #13 : Kutukan Empu Bharata Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
SEJAK dinihari gumpalan awan hitam menggantung di udara. Paginya walaupun sang surya telah menampakkan diri namun karena masih adanya awan hitam itu, suasana kelihatan mendung sekali.Kokok ayam dan kicau burung tidak seriuh seperti biasanya, seolah-olah binatang-binatang itu tidak gembira menyambut kedatangan pagi yang tiada bercahaya itu. Di lereng timur Gunung Slamet, seorang laki-laki tua yang mengenakan kain selempang putih berdiri di depan teratak kediamannya. Janggutnya yang putih panjang menjela dada melambai-lambai ditiup angin pagi. Orang tua ini menengadah memandang kelangit.
"Mendung sekali pagi ini..." katanya dalam hati. Untuk beberapa lamanya dia masih berdiri di depan teratak itu. Kemudian terdengarlah suaranya berseru memanggil seseorang.
"Untung! Kau kemarilah . . . "
Meski umurnya hampir mencapai delapan puluh, namun suara yang keluar dari mulut orang tua itu keras lantang dan berwibawa. Sesaat kemudian seorang pemuda sembilanbelas tahun muncul dari dalam teratak. Parasnya tampan. Dia mengenakan sehelai celana pendek sedang dadanya yang tidak tertutup kelihatan bidang tegap penuh otot-otot.
"Empu memanggil aku . . .?" pemuda itu bertanya.
Si orang tua yang bernama Empu Bharata, menganggukkan kepalanya. "Keris Mustiko Jagat yang kubikin sudah hampir si
... baca selengkapnya di Wiro Sableng #13 : Kutukan Empu Bharata Cerita Motivasi dan Inspirasi Nomor 1